Thursday, July 10, 2014

Balada memilih Presiden

Saya Yulia (24 tahun), dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, memantapkan hati dan telah menggunakan hak pilih saya pada tanggal 9 Juli 2014. Saya yang mempunyai pilihan yang berbeda dari orang tua dan orang terkasih yang notabene adalah orang Solo, memilih calon presiden nomor urut 2. Setelah berdiskusi ngalor ngidul dengan beberapa orang yang saya percaya dan berdasarkan atas apa yang benar-benar saya alami dan saya rasakan, akhirnya saya memantapkan pilihan kepada pak Jokowi.
Saya tidak memilih pak Prabowo bukan karena saya membencinya. Saya pun tidak mau ambil pusing mengenai pemberitaan yang menyebutkan beliau adalah penjahat HAM dan dalang kerusuhan Mei 1998. Semata-mata bukan ingin menutup mata, tetapi saya merasa bahwa saya tidak memiliki kapasitas untuk membahas kasus tersebut. Jika tidak bersalah, mengapa mau saja diberhentikan? bagi saya mau atau tidak mau adalah sebuah pilihan. Benar tidaknya pemberitaan tersebut, hanya Allah SWT dan pak Prabowo lah yang tahu.
Bagi saya, Pak Prabowo adalah sosok yang cerdas, tegas dan santun. Ketegasan dan kesantunannya terlihat pada saat debat capres beberapa waktu yang lalu. Tegas yang saya lihat disini, bukan hanya tegas dalam hal berbicara, tetapi beliau juga tegas dalam meyakini sesuatu yang menurut beliau bagus meskipun itu berasal dari lawan politiknya. Santun, karena beliau bukan tipe orang yang ingin menjatuhkan martabat orang lain.
Pak Prabowo adalah orang yang cerdas. Kalau tidak cerdas, mana mungkin dia menjadi orang pertama yang mensupport dan memboyong seorang Jokowi jauh-jauh dari Solo ke Jakarta untuk menjadikan nya seorang Gubernur DKI. Beliau pandai mengamati dan menganalisa orang-orang yang punya potensi dan mau bekerja sungguh-sungguh untuk menyejahterakan masyarakat. Jelas, kecerdasan beliau didapat selama terlibat di militer. Jadi, tidak ada alasan satupun bagi saya untuk menjelek-jelekkan beliau. Titik!
 
Trus mengapa pada akhirnya saya memilih pak Jokowi?
"Jatuh cinta pada pandangan pertama". Begitu kira-kira ungkapan yang mampu menggambarkan isi hati saya. Saya mengenal beliau, jauh sebelum ajang pilpres dan bahkan sebelum Pilgub DKI digelar. Ketika itu secara tak sengaja, saya menonton sebuah acara di salah satu stasiun tv yang berjudul "Managing the Nation", dipandu oleh seorang mantan menteri yaitu Bapak Tanri Abeng, kira-kira pada tahun 2011. Biar ga terlalu melebar, inti dari acara tersebut yaitu menghadirkan orang-orang yang menginspirasi dan mereka mampu membuat perubahan di bidangnya. Salah satu narasumber yang diundang ketika itu adalah pak Jokowi yang pada waktu itu masih menjabat sebagai walikota Solo. Beliau memaparkan tentang kebijakan dan program kerja unggulan beliau, termasuk tentang "kartu sehat dan kartu pintar". Pada saat itu baik penelepon, maupun hadirin yang menonton baik secara langsung maupun melalui layar tv berdecak kagum, hingga salah satu audiens asal Kalimantan berharap semoga program seperti itu bisa juga dilakukan di daerahnya. Tidak hanya mereka, saya pun demikian.
Ngomongin soal kartu. Sempat denger selentingan, "Capres kok kayak sales, nawarin kartu. Itu lagi, itu lagi cuma beda bungkus doang. Dulu KJS dan KJP, sekarang KIS dan KIP". Saya sih senyum-senyum aja. Bagi orang mampu yang sudah punya asuransi sendiri mungkin tidak merasakan manfaat apa2. Tapi bagi kami yang benar-benar bekerja banting tulang, peras keringat cari uang untuk setidaknya menyambung hidup, kedua kartu itu adalah kartu sakti.
Saya bukan cuma membual, tapi memang benar2 saya rasakan, dan itu dialami oleh IBU KANDUNG saya sendiri. Dulu sebelum era pak Jokowi, membuat kartu Jamkesmas aja susahnya setengah mati. Jangankan jamkesmas, mengurus SKTM yang cuma dapat potongan 500-600ribu aja dipersulit. Dari biaya operasi katarak mata seharga 5 juta sekian, cuma dapat potongan segitu, sisanya mesti cari sendiri. Beberapa bulan lalu, ibu saya kembali menjalani operasi batu ginjal yang menghabiskan biaya 10 juta lebih termasuk biaya menginap di kelas 3, itu semua gratis, meskipun ada beberapa jenis obat yang memang harus dibeli (sesuai kebijakan RS). Dan mengurus KJS tidaklah sesulit mengurus SKTM.
Bagaimana dengan KJP? pengalaman dari 2 orang anak sepupu saya sendiri, yang satu masih SD dan satunya sudah SMP. Setiap bulan, bisa dipastikan mereka mendapat biaya pendidikan lewat KJP tersebut, sampai sepupu saya bingung, mau dikemanakan uang 600ribu/bulan yang dikasih karena memang pertanggungjawabannya harus jelas (ibaratnya smacam bikin likudasi gitu, orang2 kantor pasti hafal kalo habis bikin kegiatan. haha). Belum lagi program pembangunan kampung (bedah rumah istilahnya), tetangga saya yang rumahnya sudah tak layak, diperbaiki dan tidak tanggung2 semua dilakukan serentak. Sampai ibu saya bingung, cari tukang untuk benerin genteng gak ada, karena pada sibuk menggarap proyek pemda DKI tersebut.
Reformasi birokrasi, lelang jabatan, penertiban PKL tanah abang, kenaikan UMR hingga 2,2 juta, revitalisasi waduk dll. Bagi saya itu semua sudah merupakan bukti nyata kalau beliau memang benar2 bekerja untuk menyejahterakan rakyatnya, meski belum semua masalah Jakarta terselesaikan.
Pada saat Pilgub DKI, sebenarnya beliau bukanlah orang yang saya jagokan. Meski saya tau dari acara tersebut, namun saya masih ragu apakah akan bisa diterapkan di Jakarta? kenyataanya BISA kalau memang pemerintah MAU dan ada NIAT. Bagi saya, sesungguhnya warga Jakarta yang tidak memilih beliau bukan karena mereka benci melihat pencitraan atau isu2 lain yang sengaja dihembuskan, melainkan karena warga Jakarta sudah "terlanjut sayang" untuk melepas seorang Joko Widodo dari ibukota.
Blusukan? bagi saya blusukan beliau bukanlah pencitraan. Blusukan sudah lama ada bahkan sejak jaman Khalifah Umar bin Khattab RA. Mungkin, jika pada jaman khalifah Umar sudah berkembang media pemberitaan, saya yakin banyak pemimpin dunia lain yang juga akan mengikuti cara kerja beliau. Mengapa saya meyakini hal tersebut? karena saya orang lapangan. Terkadang masalah dan solusi bisa ditemukan sendiri di masyarakat, asal kita mau banyak mendengar dan mengkaji bersama. Cara kerja beliau bukanlah mencekoki, melainkan memberdayakan dengan jalan difasilitasi.
Berbicara tentang amanah, banyak yang bilang jika beliau nyapres menandakan bahwa beliau mengingkari janji dan tidak amanah. Saya pun termasuk orang yang sebenarnya lebih suka fokus menyelesaikan pekerjaan saya di sebuah lembaga. Lantas, mengapa saya masih memilih beliau? Saya masih ingat perkataan seorang manager yang saya hormati, ketika ada teman yang akan pindah posisi/jabatan beliau mengatakan, "Jika itu bagus untuk karier nya kedepan, mengapa harus ditahan? meski saya harus pincang tanpanya. Lagipula dia masih berada dalam satu naungan". Dari situ saya mulai berpikir, bahwa ternyata hidup itu pilihan, dan kita harus menghormati hak setiap orang. Apalagi jika itu baik untuknya dan demi kebaikan semua, karena kita masih memperjuangkan hal yang sama.
Saya memilih beliau sebagai wujud apresiasi saya terhadap kerja keras beliau selama memimpin jakarta. Jadi lu coblos dia cuma karena pengen berterima kasih? Saya nyatakan, iya. Mau tau kenapa? Jawabannya sederhana. Saya hanya ingin membalas jasa orang-orang baik di kesempatan yang tepat., karena tanpa kita sadari selama ini kita cenderung terlalu banyak menuntut tanpa sedikitpun menghargai usaha dan kerja keras seseorang.
Selain sebagai bentuk rasa terima kasih, saya memilih beliau karena beliau seperti memberikan saya dan mungkin anak cucu saya nanti sebuah harapan sekaligus kesempatan. Ternyata bercita-cita menjadi seorang presiden bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Ini sekaligus menepis anggapan bahwa "kalo lu bukan dari latar belakang militer, mending kelaut aje". Sebuah pembelajaran berharga yang saya dapat dari pilpres kita kali ini.  Sayang sekali jika banyak orang baik,berpotensi dan menginspirasi yang bukan dari kalangan militer harus selalu mendapatkan label "tidak layak" ketika memutuskan untuk terjun ke dunia politik.
Baik Pak Prabowo maupun Pak Jokowi, keduanya adalah orang baik. Saya senang siapapun yang akan menjadi Presiden RI nantinya. Meski saya melihat, pak Prabowo memang lebih siap dan pantas. Jika pak Jokowi tak terpilihpun, saya tetap bersyukur, karena beliau tetap kembali ke pelukan warga Jakarta.
Pilpres bukanlah akhir dari segalanya, Lagi-lagi ini adalah soal "rasa", lebih suka vanilla atau coklat? Bukan karena vanilla rasanya tidak enak, tetapi lebih kepada selera dan penerimaan. Semoga silaturrahim kita tetap terjaga meski kita berbeda pilihan. Saling menghormati pilihan masing-masing sungguh jauh lebih baik dibanding saling menggurui. Bukan kah agama kita mengajarkan demikian?
 
Salam 2 Jari #Akhirnyamilihjokowi
 

No comments:

Post a Comment