Saya Yulia (24 tahun), dengan mengucap
Bismillahirrohmanirrohim, memantapkan hati dan telah menggunakan hak pilih saya
pada tanggal 9 Juli 2014. Saya yang mempunyai pilihan yang berbeda dari orang
tua dan orang terkasih yang notabene adalah orang Solo, memilih calon presiden
nomor urut 2. Setelah berdiskusi ngalor ngidul dengan beberapa orang yang saya
percaya dan berdasarkan atas apa yang benar-benar saya alami dan saya rasakan,
akhirnya saya memantapkan pilihan kepada pak Jokowi.
Saya tidak memilih pak Prabowo bukan karena
saya membencinya. Saya pun tidak mau ambil pusing mengenai pemberitaan yang
menyebutkan beliau adalah penjahat HAM dan dalang kerusuhan Mei 1998.
Semata-mata bukan ingin menutup mata, tetapi saya merasa bahwa saya tidak
memiliki kapasitas untuk membahas kasus tersebut. Jika tidak bersalah, mengapa
mau saja diberhentikan? bagi saya mau atau tidak mau adalah sebuah pilihan.
Benar tidaknya pemberitaan tersebut, hanya Allah SWT dan pak Prabowo lah yang
tahu.
Bagi saya, Pak Prabowo adalah sosok yang
cerdas, tegas dan santun. Ketegasan dan kesantunannya terlihat pada saat debat
capres beberapa waktu yang lalu. Tegas yang saya lihat disini, bukan hanya
tegas dalam hal berbicara, tetapi beliau juga tegas dalam meyakini sesuatu yang
menurut beliau bagus meskipun itu berasal dari lawan politiknya. Santun, karena
beliau bukan tipe orang yang ingin menjatuhkan martabat orang lain.
Pak Prabowo adalah orang yang cerdas. Kalau
tidak cerdas, mana mungkin dia menjadi orang pertama yang mensupport dan
memboyong seorang Jokowi jauh-jauh dari Solo ke Jakarta untuk menjadikan nya
seorang Gubernur DKI. Beliau pandai mengamati dan menganalisa orang-orang yang
punya potensi dan mau bekerja sungguh-sungguh untuk menyejahterakan masyarakat.
Jelas, kecerdasan beliau didapat selama terlibat di militer. Jadi, tidak ada
alasan satupun bagi saya untuk menjelek-jelekkan beliau. Titik!
Trus mengapa pada akhirnya saya memilih pak
Jokowi?
"Jatuh cinta pada pandangan
pertama". Begitu kira-kira ungkapan yang mampu menggambarkan isi hati
saya. Saya mengenal beliau, jauh sebelum ajang pilpres dan bahkan sebelum
Pilgub DKI digelar. Ketika itu secara tak sengaja, saya menonton sebuah acara
di salah satu stasiun tv yang berjudul "Managing the Nation", dipandu
oleh seorang mantan menteri yaitu Bapak Tanri Abeng, kira-kira pada tahun 2011.
Biar ga terlalu melebar, inti dari acara tersebut yaitu menghadirkan
orang-orang yang menginspirasi dan mereka mampu membuat perubahan di bidangnya.
Salah satu narasumber yang diundang ketika itu adalah pak Jokowi yang pada
waktu itu masih menjabat sebagai walikota Solo. Beliau memaparkan tentang
kebijakan dan program kerja unggulan beliau, termasuk tentang "kartu sehat
dan kartu pintar". Pada saat itu baik penelepon, maupun hadirin yang
menonton baik secara langsung maupun melalui layar tv berdecak kagum, hingga
salah satu audiens asal Kalimantan berharap semoga program seperti itu bisa
juga dilakukan di daerahnya. Tidak hanya mereka, saya pun demikian.
Ngomongin soal kartu. Sempat denger
selentingan, "Capres kok kayak sales, nawarin kartu. Itu lagi, itu lagi
cuma beda bungkus doang. Dulu KJS dan KJP, sekarang KIS dan KIP". Saya sih
senyum-senyum aja. Bagi orang mampu yang sudah punya asuransi sendiri mungkin
tidak merasakan manfaat apa2. Tapi bagi kami yang benar-benar bekerja banting
tulang, peras keringat cari uang untuk setidaknya menyambung hidup, kedua kartu
itu adalah kartu sakti.
Saya bukan cuma membual, tapi memang benar2
saya rasakan, dan itu dialami oleh IBU KANDUNG saya sendiri. Dulu sebelum era
pak Jokowi, membuat kartu Jamkesmas aja susahnya setengah mati. Jangankan
jamkesmas, mengurus SKTM yang cuma dapat potongan 500-600ribu aja dipersulit.
Dari biaya operasi katarak mata seharga 5 juta sekian, cuma dapat potongan
segitu, sisanya mesti cari sendiri. Beberapa bulan lalu, ibu saya kembali
menjalani operasi batu ginjal yang menghabiskan biaya 10 juta lebih termasuk
biaya menginap di kelas 3, itu semua gratis, meskipun ada beberapa jenis obat
yang memang harus dibeli (sesuai kebijakan RS). Dan mengurus KJS tidaklah
sesulit mengurus SKTM.
Bagaimana dengan KJP? pengalaman dari 2
orang anak sepupu saya sendiri, yang satu masih SD dan satunya sudah SMP.
Setiap bulan, bisa dipastikan mereka mendapat biaya pendidikan lewat KJP
tersebut, sampai sepupu saya bingung, mau dikemanakan uang 600ribu/bulan yang
dikasih karena memang pertanggungjawabannya harus jelas (ibaratnya smacam bikin
likudasi gitu, orang2 kantor pasti hafal kalo habis bikin kegiatan. haha).
Belum lagi program pembangunan kampung (bedah rumah istilahnya), tetangga saya
yang rumahnya sudah tak layak, diperbaiki dan tidak tanggung2 semua dilakukan
serentak. Sampai ibu saya bingung, cari tukang untuk benerin genteng gak ada,
karena pada sibuk menggarap proyek pemda DKI tersebut.
Reformasi birokrasi, lelang jabatan,
penertiban PKL tanah abang, kenaikan UMR hingga 2,2 juta, revitalisasi waduk
dll. Bagi saya itu semua sudah merupakan bukti nyata kalau beliau memang benar2
bekerja untuk menyejahterakan rakyatnya, meski belum semua masalah Jakarta
terselesaikan.
Pada saat Pilgub DKI, sebenarnya beliau
bukanlah orang yang saya jagokan. Meski saya tau dari acara tersebut, namun
saya masih ragu apakah akan bisa diterapkan di Jakarta? kenyataanya BISA kalau
memang pemerintah MAU dan ada NIAT. Bagi saya, sesungguhnya warga Jakarta yang
tidak memilih beliau bukan karena mereka benci melihat pencitraan atau isu2
lain yang sengaja dihembuskan, melainkan karena warga Jakarta sudah "terlanjut
sayang" untuk melepas seorang Joko Widodo dari ibukota.
Blusukan? bagi saya blusukan beliau bukanlah
pencitraan. Blusukan sudah lama ada bahkan sejak jaman Khalifah Umar bin
Khattab RA. Mungkin, jika pada jaman khalifah Umar sudah berkembang media pemberitaan,
saya yakin banyak pemimpin dunia lain yang juga akan mengikuti cara kerja
beliau. Mengapa saya meyakini hal tersebut? karena saya orang lapangan.
Terkadang masalah dan solusi bisa ditemukan sendiri di masyarakat, asal kita
mau banyak mendengar dan mengkaji bersama. Cara kerja beliau bukanlah
mencekoki, melainkan memberdayakan dengan jalan difasilitasi.
Berbicara tentang amanah, banyak yang bilang
jika beliau nyapres menandakan bahwa beliau mengingkari janji dan tidak amanah.
Saya pun termasuk orang yang sebenarnya lebih suka fokus menyelesaikan
pekerjaan saya di sebuah lembaga. Lantas, mengapa saya masih memilih beliau?
Saya masih ingat perkataan seorang manager yang saya hormati, ketika ada teman
yang akan pindah posisi/jabatan beliau mengatakan, "Jika itu bagus untuk
karier nya kedepan, mengapa harus ditahan? meski saya harus pincang tanpanya.
Lagipula dia masih berada dalam satu naungan". Dari situ saya mulai
berpikir, bahwa ternyata hidup itu pilihan, dan kita harus menghormati hak
setiap orang. Apalagi jika itu baik untuknya dan demi kebaikan semua, karena
kita masih memperjuangkan hal yang sama.
Saya memilih beliau sebagai wujud apresiasi
saya terhadap kerja keras beliau selama memimpin jakarta. Jadi lu coblos dia
cuma karena pengen berterima kasih? Saya nyatakan, iya. Mau tau kenapa?
Jawabannya sederhana. Saya hanya ingin membalas jasa orang-orang baik di
kesempatan yang tepat., karena tanpa kita sadari selama ini kita cenderung
terlalu banyak menuntut tanpa sedikitpun menghargai usaha dan kerja keras
seseorang.
Selain sebagai bentuk rasa terima kasih,
saya memilih beliau karena beliau seperti memberikan saya dan mungkin anak cucu
saya nanti sebuah harapan sekaligus kesempatan. Ternyata bercita-cita menjadi
seorang presiden bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Ini
sekaligus menepis anggapan bahwa "kalo lu bukan dari latar belakang
militer, mending kelaut aje". Sebuah pembelajaran berharga yang saya dapat
dari pilpres kita kali ini. Sayang
sekali jika banyak orang baik,berpotensi dan menginspirasi yang bukan dari
kalangan militer harus selalu mendapatkan label "tidak layak" ketika
memutuskan untuk terjun ke dunia politik.
Baik Pak Prabowo maupun Pak Jokowi, keduanya
adalah orang baik. Saya senang siapapun yang akan menjadi Presiden RI nantinya.
Meski saya melihat, pak Prabowo memang lebih siap dan pantas. Jika pak Jokowi
tak terpilihpun, saya tetap bersyukur, karena beliau tetap kembali ke pelukan
warga Jakarta.
Pilpres bukanlah akhir dari segalanya,
Lagi-lagi ini adalah soal "rasa", lebih suka vanilla atau coklat?
Bukan karena vanilla rasanya tidak enak, tetapi lebih kepada selera dan
penerimaan. Semoga silaturrahim kita tetap terjaga meski kita berbeda pilihan.
Saling menghormati pilihan masing-masing sungguh jauh lebih baik dibanding
saling menggurui. Bukan kah agama kita mengajarkan demikian?
Salam 2 Jari #Akhirnyamilihjokowi |
No comments:
Post a Comment