Entah mengapa beberapa hari
belakangan ini, saya merasakan kerinduan yang teramat dalam. Rasa rindu yang
sedemikian dahsyatnya dan membuncah ruah. Tidak perduli meski harus dibilang “alay”
karena terlalu “lebay”. Tapi memang ini yang saya rasakan sekarang.
Sudah hampir 5 bulan saya
meninggalkan rumah, meninggalkan orang-orang yang saya sayangi. Meninggalkan
kota Jakarta tempat saya ditempa dan dididik sampai sebesar ini. Banyak orang
bilang kalau “Jakarta, ibukota yang kejam”. Ya.. memang kejam.. Saking kejamnya
sampai membuat saya rindu dengan semua keluh kesah yang ada di dalamnya.Cara
saya meninggalkan mereka mungkin bisa dibilang juga sedikit kejam. Betapa tidak,
saya seakan diberangkatkan paksa tanpa bisa “bermanja-manja” sejenak dengan
mereka. Aaahh.. sudahlah. Tak ingin saya ingat-ingat lagi rasanya.
Dari sekian banyak yang
dirindukan dari Jakarta sudah pasti adalah rumah saya. Rumah mungil di pusat
kota dan ditengah pemukiman “kumuh” ini benar-benar menjadi pusat kerinduan
saya. Betapa tidak?? Disana tinggal sepasang suami istri yang sudah lanjut usia.
Bertahan menjalani hari-hari tuanya dengan penuh pengharapan menanti “sang anak”
kembali. Pasti tak henti-henti doa tulus dan suci dipanjatkan hanya untuk saya
seorang.
Kalau boleh dibilang, ini adalah “homesick” saya yang paling parah.
Gilaaaaaaa!!!
Saya tahu, biarpun tak ada saya,
bapak-ibu sudah pasti banyak yang menjaga. Mulai dari saudara hingga tetangga..
tapi saya tahu pasti,, ditengah keriuhan suasana disana. Beliau pasti kesepian.
Biarpun ramai tapi keramaian itu tetap tak sama. Saya baru menyadari, Mengapa
orang-orang rela mengantri berjam-jam hingga menginap di stasiun dan terminal
hanya untuk mendapatkan selembar tiket bertuliskan “kota tujuan”?
Ya.. akhirnya saya mampu
merasakan hal yang sama dengan mereka. Kerinduan yang tak tergantikan oleh
apapun. Biarpun harus berdesak-desakan, biarpun harus meneteskan peluh didahi
dan biarpun mereka harus terinjak-injak, asalkan bisa bertemu dengan orang tua
dan sanak famili, semua yang dirasakan menjadi tidak berarti.
“Ya Rabb.. izinkan saya
setidaknya mengirimkan rindu ini sejenak untuk bapak dan ibu. Engkau Maha
Mengetahui apa yang ada dalam hati hamba saat ini. Hamba sedang sangat
menantikan saat-saat pertemuan dengan mereka. Saat dimana semua rasa dan asa menjadi
sama, dan saat dimana tangis haru dan tawa bahagia melebur menjadi satu”.
“Ya Rabb.. berikanlah selalu
kesehatan untuk beliau berdua. Jagalah mereka dari marabahaya. Sehatkan selalu
jasmani mereka meski kini usia mereka sudah renta”.
“Ya Rabb.. maafkan hamba karena
hamba belum mampu menjaga mereka. Maafkan hamba karena masih harus membuat
mereka berusaha keras untuk menjalani hidup bersusah payah tanpa hamba. Maafkan
hamba karena sampai detik ini hamba merasa masih belum mampu membuat beliau
berdua bahagia. Maafkan hamba ya Allah, maafkan...”.
“Ya Rabb.. seandainya Engkau
masih mengizinkan hamba bertemu dengan mereka, pertemukanlah kami dalam suasana
bahagia. Pertemukanlah kami dalam keadaan sehat wala’fiat. Pertemukan kami
dalam keadaan menggembirakan dan penuh sukacita meskipun pertemuan kami
tidaklah lama. Jadikanlah pertemuan kami pertemuan yang berkualitas, agar
tangis dan airmata yang mengalir dari kedua pelupuk mata kami tidaklah sia-sia”.
“Robbighfirlii waliwaalidayya
Warhamhuma kama robbayaani soghiiran”.
11 Ramadhan 1433 Hijriyyah
Di keheningan malam yang telah larut
Cukup bisa membuat terharu, *Imajinasikan*, T_T
ReplyDeleteSopo maneh iki... mas "iih.. whaaow", kalo gak mas gandi ya kak baha.. ato mbak arie... hahaha :D
DeleteEh gambarnya lucu, gambar sendiri kah?? :-D
DeleteAamiin, untuk semua doanya, semoga dikabulkan-NYA, Aamiin...
DeleteGambar yang mana?? bukan.. itu gambar boleh nyomot dari mbah google.. hehehe
Delete5 bulan.. ?
ReplyDeletesaya 4,5 tahun.. :)
memang, momentum ramadhan pertama ketika jauh dari rumah adalah : kagok..
kagok tidak ada yang mengingatkan tentang sahur..
kagok tidak ada yang menyiapkan berbuka puasa.. :)
Semangat mbak :D
ReplyDeleteu can do it!
Banggain mereka, Allah juga menjaga mereka :))